Kondios Meidarlin Pasaribu
Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Nim : 248101008
Perlindungan anak di Indonesia masih menjadi isu yang serius meski sudah ada regulasi seperti Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. "Perlindungan anak harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pemerintah. Dalam mengatasi permasalahan ini, beberapa solusi dan strategi harus menjadi agenda utama. Pertama, penguatan koordinasi antar instansi. "Harus ada komitmen bersama untuk melindungi hak-hak anak.
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana merupakan amanat dari Pasal 71D ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa kejahatan terhadap anak tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis yang mempengaruhi tumbuh kembang dan kualitas hidup anak. Namun menimbulkan kerugian materil maupun imateriil bagi pihak keluarga. Oleh karena itu, sangatlah tepat bila pengertian restitusi diartikan sebagai pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/ atau imateril yang diderita korban atau ahli warisnya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut.
Sebelum terbitnya Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tersebut, mekanisme Pengajuan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana terkhususnya Tindak Pidana Perdagangan Orang masih mengacu kepada apa yang tertuang di dalam Pasal 48 Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Permohonan ganti rugi berupa restitusi dapat diajukan oleh korban melalui 2 (dua) cara, yaitu sebagai berikut:
Korban mengajukan restitusi sejak korban melaporkan kasus pidananya ke kepolisian setempat;
Korban dapat memohon restitusi dengan cara mengajukan sendiri gugatan perdata atas kerugian yang dialami ke Pengadilan Negeri setempat.
Mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.
Sewaktu korban Tindak Pidana Perdagangan Orang melaporkan kasusnya ke kepolisian kemudian pihak kepolisian pada saat menerima pengaduan dari korban atau keluarga wajib memasukan restitusi dalam Berita Acara Pemeriksaann (BAP), Pada saat kasus dilimpahkan ke kejaksaan, maka Penuntut Umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi dan menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban bersamaan dengan tuntutan.
Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan oleh hakim sekaligus dalam amar putusan di Pengadilan Negeri tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Restitusi juga dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus dan diberikan kepada korban atau keluarga dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap. Permohonan restitusi juga dapat dilakukan dengan cara korban mengajukan sendiri gugatan restitusi melalui gugatan perdata.
Selain diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, mekanisme pengajuan restitusi sebelumnya juga terdapat di dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Dalam Pasal 20 ayat (3) disebutkan bahwa permohonan untuk memperoleh restitusi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermatrai cukup kepada pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Selanjutnya dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus memeriksa kelengkapan permohonan restitusi dari korban paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan restitusi diterima dan sekaligus memberitahukan kepada korban untuk melengkapi laporannya apabila terdapat kekurangan kelengkapan dalam permohonan tersebut.
Selanjutnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung dari sejak tanggal permohonan menerima pemberitahuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pemohon wajib melen(red).